Cinta dan segala manifestasinya adalah
anugerah Maha Pencipta yang dimiliki
setiap manusia. Keberadaan valentine yang diterjemahkan sebagai hari kasih sayang
perlu dikoreksi ulang, terutama oleh remaja kita.
Bulan Februari selalu diidentikan dengan bulan kasih sayang. Gemerlap warna merah dan pink menyulap hampir setiap toko dan pusat perbelanjaan, dengan rangkaian aksesoris ataupun pernak-pernik berbentuk hati. Berbagai tawaran diskon dengan tema kasih sayang dijadikan ajang guna menarik konsumen dalam rangka peringatan hari valentine yang jatuh setiap tanggal 14 Februari. Boneka, coklat, permen serta bunga adalah simbolisasi hadiah yang biasanya diberikan saat perayaan valentine tiba. Karena itu, barang-barang tersebut bisa dijumpai dengan sangat mudah di berbagai sudut etalase toko, bahkan disertai dengan bonus pembingkisan kado.
anugerah Maha Pencipta yang dimiliki
setiap manusia. Keberadaan valentine yang diterjemahkan sebagai hari kasih sayang
perlu dikoreksi ulang, terutama oleh remaja kita.
Bulan Februari selalu diidentikan dengan bulan kasih sayang. Gemerlap warna merah dan pink menyulap hampir setiap toko dan pusat perbelanjaan, dengan rangkaian aksesoris ataupun pernak-pernik berbentuk hati. Berbagai tawaran diskon dengan tema kasih sayang dijadikan ajang guna menarik konsumen dalam rangka peringatan hari valentine yang jatuh setiap tanggal 14 Februari. Boneka, coklat, permen serta bunga adalah simbolisasi hadiah yang biasanya diberikan saat perayaan valentine tiba. Karena itu, barang-barang tersebut bisa dijumpai dengan sangat mudah di berbagai sudut etalase toko, bahkan disertai dengan bonus pembingkisan kado.
Meskipun tidak dirayakan oleh semua orang, tradisi valentine selalu
menjadi wacana kontroversial di khalayak publik. Beberapa kalangan yang
meninjau valentine dari persfektif agama menolak tradisi valentine ini
karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama. Sejarah valentine yang
berkiblat pada kebudayaan Romawi dengan beragam versi tak urung membuat
MUI menjatuhkan fatwa haram pada tanggal 13 Februari 2009, empat tahun
yang lalu.
Ada beragam versi sejarah tentang asal-usul hari Valentine. Namun versi
paling popular adalah nasib tragis yang menimpa pendeta St. Valentino
yang dihukum mati karena melanggar titah kaisar Claudius II akibat
menikahkan pasangan di gereja secara sembunyi-sembunyi. Claudius II
murka karena menganggap prajurit lebih tangguh bila maju ke medan perang
dengan status single, karena itu para bujangan dilarang untuk menikah.
St Valentine yang membangkang ini kemudian mendapatkan hukuman penjara.
Selama dikurung, St. valentino sempat berkenalan dengan putri penjaga
penjara dan jatuh cinta kepadanya. Kisah cinta yang berakhir tragis ini
kemudian dicatat orang-orang sebagai kisah romantisme sepanjang masa
Hampir senada, penolakkan dari kelompok lain mengarahkan valentine
sebagai rekayasa pemilik modal yang ingin mengeruk keuntungan bisnis
dari penjualan produk yang dipasarkan.
Sebenarnya tradisi perayaan valentine adalah konsekwensi dari globalisasi dimana media internasional dengan dibantu teknologi komunikasi membentuk identitas baru masyarakat Indonesia. Media massa, terutama dari segmen remaja secara persuasif mengajak kawula muda untuk menebar kasih sayang pada tanggal 14 Februari. Beragam majalah remaja begitu gencar membidik remaja muda untuk memeriahkan acara valentine melalui rubrik-rubrik special valentine dengan tema-tema romantisme khas anak muda. Disinilah kita dituntut untuk bisa selekif dan cermat dalam mengamati tradisi tersebut karena valentine bisa jadi adalah pelestarian kekerasan yang tidak disadari remaja putri, terutama yang sudah memiliki teman istimewa (baca: pacar)
Benih-Benih Kekerasan dalam Pacaran
Kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) sudah sangat familiar bagi khalayak, dan sudah mendapatkan payung hukum dari negara berupa UU No. 23 tahun 2004. Rupanya kekerasan sendiri tidak hanya menghampiri pasangan yang sudah terikat hukum, wujud relasi paling sederhana seperti pacaran pun ternyata menyimpan potensi benih-benih kekerasan. Penggunaan istilah kekerasan Dalam Pacaran (KDP) atau disebut juga dating violence memang tidak sepopuler KDRT. Namun istilah KDP sudah banyak digunakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli di bidang perempuan untuk mengkampanyekan kesadaran membangun hubungan pacaran sehat. Segmentasi kampanye ini dikhususkan bagi mereka yang berpacaran karena pacaran pun tidak luput dari tindak kekerasan seperti halnya kekerasan fisik, psikis, ekonomi maupun seksual.
Kasus yang menimpa selebritis Ardina Rasti yang dianiaya oleh kekasihnya Egi Gionino merupakan salah satu contoh KDP yang tidak hanya menyakiti fisik korban, tetapi juga secara psikologis. Adanya catatan KDP merupakan realitas dimasyarakat bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan selama menjajaki masa indah pacaran, bisa juga mengakibatkan kekerasan baik dalam bentuk fisik atau psikis.
Sebenarnya tradisi perayaan valentine adalah konsekwensi dari globalisasi dimana media internasional dengan dibantu teknologi komunikasi membentuk identitas baru masyarakat Indonesia. Media massa, terutama dari segmen remaja secara persuasif mengajak kawula muda untuk menebar kasih sayang pada tanggal 14 Februari. Beragam majalah remaja begitu gencar membidik remaja muda untuk memeriahkan acara valentine melalui rubrik-rubrik special valentine dengan tema-tema romantisme khas anak muda. Disinilah kita dituntut untuk bisa selekif dan cermat dalam mengamati tradisi tersebut karena valentine bisa jadi adalah pelestarian kekerasan yang tidak disadari remaja putri, terutama yang sudah memiliki teman istimewa (baca: pacar)
Benih-Benih Kekerasan dalam Pacaran
Kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) sudah sangat familiar bagi khalayak, dan sudah mendapatkan payung hukum dari negara berupa UU No. 23 tahun 2004. Rupanya kekerasan sendiri tidak hanya menghampiri pasangan yang sudah terikat hukum, wujud relasi paling sederhana seperti pacaran pun ternyata menyimpan potensi benih-benih kekerasan. Penggunaan istilah kekerasan Dalam Pacaran (KDP) atau disebut juga dating violence memang tidak sepopuler KDRT. Namun istilah KDP sudah banyak digunakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli di bidang perempuan untuk mengkampanyekan kesadaran membangun hubungan pacaran sehat. Segmentasi kampanye ini dikhususkan bagi mereka yang berpacaran karena pacaran pun tidak luput dari tindak kekerasan seperti halnya kekerasan fisik, psikis, ekonomi maupun seksual.
Kasus yang menimpa selebritis Ardina Rasti yang dianiaya oleh kekasihnya Egi Gionino merupakan salah satu contoh KDP yang tidak hanya menyakiti fisik korban, tetapi juga secara psikologis. Adanya catatan KDP merupakan realitas dimasyarakat bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan selama menjajaki masa indah pacaran, bisa juga mengakibatkan kekerasan baik dalam bentuk fisik atau psikis.
Tradisi valentine harus diwaspadai karena ajang yang selalu diidentikkan
dengan kasih sayang ini menyimpan ‘benih-benih’ kekerasan (dating
violence) dan bisa membawa akibat fatal. Hampir tiap tahunnya
pemberitaan surat kabar selalu menyajikan berita kontroversial terkait
peningkatan jumlah penjualan kondom saat menjelang valentine. Memang
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk bisa menarik kesimpulan apakah
ada keterkaitan langsung antara momentum valentine dengan peningkatan
penjualan kondom, namun kemungkinan korelasi di antara keduanya
dimungkinkan tetap ada karena valentine sering dianggap sebagai wujud
pengungkapan cinta termasuk dengan melakukan hubungan seks.
Hubungan seks yang terjadi di luar ikatan pernikahan tidak semata-mata
terjadi begitu saja. Proses kedekatan diantara keduanya adalah
pra-syarat awal yang kemudian dilanjutkan dengan hubungan yang makin
akrab. Bujuk rayu mesra, ancaman akan diputuskan jika menolak, bahkan
janji untuk menikahi pasangan adalah senjata untuk meluluhkan hati
perempuan. Bila perempuan sudah terjerat dengan cinta semu semacam ini,
dia akan kemudian memberikan segalanya kepada pasangannya sebagai
pembuktian cinta, termasuk bisa jadi tubuhnya.
Bila hubungan seksual telah terjadi, maka kontrol laki-laki atas
perempuan semakin kuat, karena keperawanan masih merupakan harga yang
mahal untuk masyarakat kita, beda perkara dengan nilai keperjakaan.
Harga diri wanita kemudian diletakkan pada proses deflorasi yaitu proses
pemecahan selaput dara yang menjadi simbol virginitasnya. Kondisi
kelamin perempuan yang ‘akan berubah’ ketika pertama kali melakukan
hubungan badan ini dijadikan pembedaan dengan kondisi alat kelamin
laki-laki yang ‘tidak berubah’ meskipun melangsungkan hubungan badan
berkali-kali.
Jika terjadi pengingkaran tanggung jawab laki-laki maka hukuman sosial
yang diberikan masyarakat juga lebih banyak mendiskriminasikan perempuan
daripada laki-laki sehingga banyak kasus kekerasan dalam pacaran yang
tidak bisa diusut tuntas. Kasus dikeluarkannya siswi yang ketahuan hamil
dari sekolah sering kali kita temukan di sekitar lingkungan. Padahal,
jarang sekali ada siswa yang dikeluarkan bila menghamili seseorang,
bahkan jika diketahui mereka sebagai pasangan kekasih. Perempuan rentan
sebagai korban. Perempuan yang mendapatkan kekerasan dari pasangannya
kemudian ditempatkan pada posisi korban yang dipersalahkan (blaming the
victim) atau korban yang turut berpartisipasi (victim participation)
karena dianggap membangkitkan hasrat birahi laki-laki.
Cinta dan segala manifestasinya adalah anugerah Maha Pencipta yang
dimiliki setiap manusia. Keberadaan valentine yang diterjemahkan sebagai
hari kasih sayang perlu dikoreksi ulang, terutama oleh remaja kita.
Kalangan remaja sangat rentan untuk mengikuti gaya hidup asing tanpa
filtrasi yang kuat hanya untuk alasan modernisasi. Banyak remaja yang
kemudian merayakan valentine karena ikut-ikut teman saja. Oleh karena
itu, remaja sebaiknya mewaspadai tradisi hari valentine agar jangan
sampai terjebak dengan kekerasan dalam pacaran/dating violence.
Sumber : http://www.kabar-priangan.com//news/detail/8178
Sumber : http://www.kabar-priangan.com//news/detail/8178
0 komentar:
Posting Komentar