Belajar adalah upaya seseorang dalam memperoleh
perubahan tingkah laku dan pengetahuan melalui proses berpikir dan
bertindak. Belajar erat kaitannya dengan pembelajaran, yaitu adanya
interaksi pendidik dengan peserta didik dan bahan ajar dalam lingkungan
pembelajaran. Seseorang dikatakan telah belajar apabila telah
menunjukkan perubahan tingkah laku dalam dirinya meliputi aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Pembelajaran bahasa Indonesia yang dimotori oleh guru dewasa ini sedikit
mengalami kerisauan, hanya diarahkan pada pengembangan kognitif. Maman Suryaman dalam Buku “Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Cerdas dan
Kreatif” mengungkapkan, bahwa kecerdasan manusia secara operasional
dapat digambarkan ke dalam tiga dimensi, yakni kognitif, psikomotorik,
dan afektif. Melalui pengembangan kognitif, kapasitas berpikir manusia harus
berkembang. Melalui pengembangan psikomotorik, kecakapan hidup manusia
harus tumbuh. Melalui pengembangan afektif, kapasitas sikap manusia
harus mulia. Namun, di dalam kenyataannya pelaksanaan pembelajaran lebih
diarahkan pada pencerdasan yang bersifat kognitif.
Pengembangan kognitif ialah pengembangan yang berdasarkan pengetahuan
dan pemahaman siswa dalam menyerap berbagai informasi serta pengetahuan
yang telah diterima. Perubahan ini akan tampak apabila siswa mampu
mendefinisikan berbagai hal mengenai pengetahuan berdasarkan fakta
empiris. Namun, kecerdasan intelektual yang bersifat kognitif ini hanya
terbatas pada pengembangan kemampuan menghafal, transfer pengetahuan,
dan keterampilan menyelesaikan soal-soal ujian. Pengembangan kognitif
yang lainnya masih diabaikan, misalnya dalam hal pengembangan kognitif
untuk meningkatkan daya kritis. Sebab bersikap dan berpikir kritis
merupakan sebuah kebutuhan dalam menentukan berbagai pilihan informasi
yang tepat.
Pengembangan afektif ialah pengembangan yang didasarkan pada
sikap/perilaku/tingkah laku siswa yang berkenaan dengan perasaan seperti
takut, mampu, malas, dan rajin. Perubahan ini begitu penting sebab
“sikap” yang berperan dalam aspek ini. Sikap merupakan salah satu faktor
penentu keberhasilan seseorang, sebab orang-orang pintar dan cerdas
mampu diciptakan dalam waktu singkat, sedangkan orang-orang yang
bersikap/berakhlak mulia tidak mampu diciptakan dalam waktu singkat.
Aspek ketiga yaitu pengembangan psikomotorik, pengembangan yang berhubungan dengan aktivitas fisik yang berkaitan dengan proses mental dan psikologi. Pada pengembangan ini yang paling berperan adalah keaktifan siswa di dalam lingkungan pembelajaran misalnya di dalam kelas, yaitu siswa yang aktif bertanya dan menjawab dalam sebuah diskusi kelas. Siswa tersebut telah menampakkan perubahan psikomotorik dalam dirinya daripada siswa yang pasif. Aktivitas lain yang berkenaan dengan mental siswa, yaitu ketika siswa menerima pelajaran bahasa Indonesia tentang berpidato, siswa bukan hanya diberikan teori apa itu pidato, langkah-langkah berpidato, melainkan harus juga diarahkan untuk mengalami berpidato/berbicara di depan kelas. Arahkan pula bagaimana berani untuk tampil di depan kelas di hadapan teman-temannya. Jangan sampai siswa hanya memahami apa itu pidato dan langkah-langkah menulis pidato saja tetapi belum mampu untuk berpidato terutama mengelola mental di depan kelas.
Aspek ketiga yaitu pengembangan psikomotorik, pengembangan yang berhubungan dengan aktivitas fisik yang berkaitan dengan proses mental dan psikologi. Pada pengembangan ini yang paling berperan adalah keaktifan siswa di dalam lingkungan pembelajaran misalnya di dalam kelas, yaitu siswa yang aktif bertanya dan menjawab dalam sebuah diskusi kelas. Siswa tersebut telah menampakkan perubahan psikomotorik dalam dirinya daripada siswa yang pasif. Aktivitas lain yang berkenaan dengan mental siswa, yaitu ketika siswa menerima pelajaran bahasa Indonesia tentang berpidato, siswa bukan hanya diberikan teori apa itu pidato, langkah-langkah berpidato, melainkan harus juga diarahkan untuk mengalami berpidato/berbicara di depan kelas. Arahkan pula bagaimana berani untuk tampil di depan kelas di hadapan teman-temannya. Jangan sampai siswa hanya memahami apa itu pidato dan langkah-langkah menulis pidato saja tetapi belum mampu untuk berpidato terutama mengelola mental di depan kelas.
Hal ini sejalan dengan ungkapan Magnessen (dalam Silberman, 1996) bahwa
“kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita
dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan
dengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari apa yang kita katakan
dan lakukan.” Maka, ketika siswa mengalami berpidato daya belajarnya
akan mencapai 90% dari yang dibelajarkan oleh guru.
Ketiga aspek tersebut akan saling bertautan, seseorang yang hanya cerdas
dalam aspek kognitif, afektif, atau psikomotorik saja tidak akan
mengalami peristiwa belajar. Peristiwa belajar terjadi apabila ada
interaksi stimulus dan respon. Tokoh aliran behavioristik, Edward Lee
Thorndike (1874-1949) mengungkapkan bahwa belajar merupakan proses
interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang
merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau
hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra. Respon adalah
reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, dapat berupa
pikiran, perasaan, gerakan, atau tindakan.
Belajar erat kaitannya dengan berpikir, seseorang yang belajar tentu ia
berpikir, namun seseorang yang berpikir belum tentu ia mau belajar.
Belajar ialah mengaktifkan beberapa indra kita dalam memahami berbagai
hal yang belum kita ketahui, atau upaya untuk memperoleh perubahan dari
yang belum tahu menjadi tahu, belum mengerti menjadi mengerti, dan dari
tidak bisa menjadi bisa.
Otak kiri berbahasa,
Otak kanan bersastra
Otak kiri berbahasa,
Otak kanan bersastra
Logika dan imajinasi, dua kata yang paling tepat untuk menunjukkan berbahasa dan bersastra. Kebahasaan seseorang bersumber dari logika berpikirnya, yaitu pemilihan kalimat, diksi, dan ejaan yang akan digunakan. Sedangkan kesastraan seseorang bersumber dari imajinasinya, yaitu pembayangan tokoh-tempat-kronologi peristiwa yang terjadi, pemunculan ide-ide, halusinasi, dan mimpi.
Kebahasaan dan kesastraan seseorang tampak dalam sebuah karya, baik
karya ilmiah atau karya sastra. Salah satu faktor yang berperan
menghasilkan sebuah karya ialah kinerja otak. Jika kita menghasilkan
sebuah karya ilmiah berarti kita telah mengelola otak kiri, sedangkan
jika menghasilkan sebuah karya sastra maka telah mengelola otak kanan.
Otak kiri berfungsi dalam hal-hal yang berhubungan dengan logika,
rasio, kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan pusat matematika.
Beberapa pakar menyebutkan bahwa otak kiri merupakan pusat Intelligence
Quotient (IQ). Sementara otak kanan berfungsi dalam perkembangan
Emotional Quotient (EQ). Misalnya sosialisasi, komunikasi, interaksi
dengan manusia lain serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini pula
terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan
ekspresi tubuh, seperti menyanyi, pentas drama, menari, melukis, dan
segala jenis kegiatan kreatif lainnya.
Robert Ornstein dalam bukunya “The Right Mind” memaparkan bahwa belahan
otak sebelah kanan merupakan kunci untuk memperluas pemikiran manusia,
menghidupkan trauma, menyembuhkan autis, dan seterusnya. Ia akan
menyelamatkan kita. Ia merupakan kursi kreativitas, jiwa, dan bahkan
gagasan-gagasan yang besar.
Perbedaan utama antara otak kiri dan kanan ialah belahan kiri ribuan kata-kata, sedangkan belahan kanan adalah gambar. Belahan otak kiri memperhatikan pada apa yang dikatakan; belahan sebelah kanan memfokuskan pada bagaimana ia dikatakan.
Berbagai aktivitas yang kita lakukan bersumber dari pikiran. Semakin cerdas dan kreatif guru dalam mengajar maka semakin bagus proses dan hasil pembelajaran yang dilakukan.
Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada hakikatnya adalah pembelajaran berpikir. Memerlukan daya kognisi, afeksi, dan psikomotor yang memadai yang perlu dikembangkan. Sebab menurut Lina Meilinawati dalam buku “Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Cerdas dan Kreatif” bahwa di sekolah-sekolah di Indonesia belum dikembangkan materi khusus pelajaran berpikir, sementara di negeri Jiran (Malaysia) merupakan mata pelajaran khusus.
Untuk itu, kiranya sangat tepat jika di negeri kita kemampuan berpikir dimasukkan ke dalam pelajaran Bahasa Indonesia, sebab berbahasa berarti berpikir. ***
Dikutif dari tulisan Aji Septiaji, S.Pd.
Calon Penerima Beasiswa BPP-DN Ditjen Dikti 2013/2014,
pada Program Magister Ilmu Linguistik Universitas Indonesia.
Pengajar pada matakuliah Keterampilan Menulis
dan Pembelajaran Menulis di Universitas Galuh Ciamis.
Dalam http://www.kabar-priangan.com/news/detail/9271
Perbedaan utama antara otak kiri dan kanan ialah belahan kiri ribuan kata-kata, sedangkan belahan kanan adalah gambar. Belahan otak kiri memperhatikan pada apa yang dikatakan; belahan sebelah kanan memfokuskan pada bagaimana ia dikatakan.
Berbagai aktivitas yang kita lakukan bersumber dari pikiran. Semakin cerdas dan kreatif guru dalam mengajar maka semakin bagus proses dan hasil pembelajaran yang dilakukan.
Mata Pelajaran Bahasa Indonesia pada hakikatnya adalah pembelajaran berpikir. Memerlukan daya kognisi, afeksi, dan psikomotor yang memadai yang perlu dikembangkan. Sebab menurut Lina Meilinawati dalam buku “Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Cerdas dan Kreatif” bahwa di sekolah-sekolah di Indonesia belum dikembangkan materi khusus pelajaran berpikir, sementara di negeri Jiran (Malaysia) merupakan mata pelajaran khusus.
Untuk itu, kiranya sangat tepat jika di negeri kita kemampuan berpikir dimasukkan ke dalam pelajaran Bahasa Indonesia, sebab berbahasa berarti berpikir. ***
Dikutif dari tulisan Aji Septiaji, S.Pd.
Calon Penerima Beasiswa BPP-DN Ditjen Dikti 2013/2014,
pada Program Magister Ilmu Linguistik Universitas Indonesia.
Pengajar pada matakuliah Keterampilan Menulis
dan Pembelajaran Menulis di Universitas Galuh Ciamis.
Dalam http://www.kabar-priangan.com/news/detail/9271
0 komentar:
Posting Komentar